Daun sirih itu emak lipat sedemikian rupa setelah di dalamnya dibubuhi sedikit kapur dan gambir ditambah segigit pinang. Dikunyahnya benda itu sambil menunggu di kursi tua di ruang tengah. Sebuah wadah berisi abu dapur diletakkan di dekat kaki meja. Wadah itu juga biasa dibawa Emak ke kamarnya. Ke wadah itulah emak akan membuang dubang, cairan warna merah dari kunyahan sirih-pinang.
Sehabis mandi dan makan Taslim masuk ke kamar. Kamar yang sekalipun ini rumahnya, sejak setahun yang lalu Taslim mewanti-wanti agar Emak tidak memasukinya. Maka daun pintu kamar itu selalu dikunci bila Taslim sedang pergi.
Rumah itu memang tak terlalu besar. Tetapi ia terkesan amat besar bagi Emak yang sering hanya sendiri saja meninggalinya. Dua kakak Taslim telah berumah tangga dan sama-sama mengikuti suaminya. Sebenarnya Emak ingin agar Taslim segera menyusul kedua kakaknya. Dengan usia sudah dua puluh tujuh, pantas sudah ia memiliki anak-istri.
“Menikah?!” suatu ketika Taslim malah bertanya begitu ketika dengan halus Emak meminta agar ia mengakhiri masa lajangnya. “Belum, Mak. Aku merasa belum mampu dan belum siap menjadi imam yang baik dalam rumah tangga. Aku masih harus belajar banyak. Nanti, kalau aku sudah merasa mampu, pasti aku akan menikah…”
Gerimis masih saja kerasan mengguyur sekujur tubuh desa itu. Aroma gerimis itu berpadu dengan asap diyang yang mengepul dari setiap bawah kandang kambing yang berbentuk panggung. Tumpukan rumput setengah kering yang dibakar, ditimbun dengan sisa-sisa rumput basah yang tidak dimakan kambing, membuat asap akan mengepul semalaman. Asap itu, kautahu, akan mengusir lalat atau nyamuk yang akan menggigit kulit kambing, agar si kambing-kambing itu dapat tidur dengan nyenyak. Sekalipun justru para pemilik kambing atau siapapun penghuni desa itu yang sebulan terakhir ini tiada pernah bisa tidur nyenyak. Hantu-hantu pengetuk pintu bergentayangan.
“Jaman begini kok masih saja ada yang percaya cerita begituan,” Taslim berkata menanggapi cerita Emak, tadi sehabis ia makan.
Emak lalu bercerita tentang Pak Komar, orang terkaya di desa itu. Malam itu, hujan baru saja reda dan listrik baru saja padam ketika ada terdengar suara pintu depan rumahnya diketuk orang. Lama tak dibuka, ketukan itu terdengar lagi. Sambil membawa lampu senter pak Komar menuju pintu, dan tidak mendapati siapapun ketika ia membukanya. Paginya, istrinya berteriak keras sekali membangunkan semua warga; Pak komar meninggal tiba-tiba tanpa sakit. Hal yang sama terjadi pada dua orang lainnya. Dengan jarak kejadian yang hanya kurang dari empat puluh hari, telah ada orang di desa tetangga yang meninggal tanpa sebab, begitu malamnya ada suara pintu rumahnya diketuk orang pada tengah malam. Tidak jelas benar apakah cerita itu sungguhan atau hanya sebagai masakan yang kelebihan bumbu. Yang jelas, cerita itu makin terdengar luas sampai-sampai orang yang kurang memercayainya pun ikut menjadi cemas.
Ada empat kamar di rumah Emak ini. Kamar Taslim ada di bagian belakang, sementara Emak tidur di kamar tengah. Dua kamar di depan dipersiapkan bila ada Tarmi atau Tantri pulang bersama anak-anak dan suaminya. Almarhum Bapak yang merancang begitu. Sebagai tukang batu, ia bangun sendiri rumah ini tanpa ada desain gambarnya. Semua berdasar pada apa yang ada di kepala Bapak.
Sehari-hari kegiatan Emak hanya mencari rumput untuk tiga ekor kambing yang ia beli dari sisa uang belanja yang diberikan anak-anaknya. Itu bisa menjadi sarana mengisi hari tuanya. Selebihnya ia sering sendiri. Dua-tiga bulan ditinggal Taslim bekerja di kota, seringkali makanan yang ia masak sendiri sisa menjadi basi. Terlebih kalau ia sedang kangen akan anak cucunya yang tinggal jauh, sulit sekali ia membujuk perutnya agar menjadi lapar.
Untunglah kehidupan di desa semua menjadi saudara. Semua orang baik, guyup dan rukun. Namun bukan berarti desa itu tentram selalu. Tidak. Dua tahun lalu, di jalan pinggiran desa, ada sekelompok orang pendatang membangun warung-warung kopi yang selalu ramai kalau malam hari. Tidak seperti warung kopi yang lazim ada di desa itu yang menjadi tempat ngobrol para orang-orang tua melepas penat setelah seharian merawat tambak, warung-warung kopi baru itu pengunjungnya adalah anak-anak muda. Suara musik yang diputar, adu kencang dengan suara gelak tawa pengunjung warung. Satu kekhasan dari warung itu, menurut cerita, bukan pada racikan kopinya. Tetapi pada perilaku para pelayan, yang semua perempuan, yang mau dipangku oleh pengunjung asal ada imbalan. Warung pangku, begitu nama yang kemudian dikenal orang.
“Maksiat,” geram Taslim berucap.
Ia merasa harus berbuat sesuatu. Bersama dua orang teman dari kota yang tak dikenal orang di desanya, Taslim mengumpulkan para pemuda desa. Dan pada saat yang ditentukan secara rahasia, puluhan pemuda yang dikomandoi Taslim dan temannya itu bergerak membubarkan kemaksiatan yang merusak ketentraman desa. Setelah para pemilik dan pengunjung warung lari tunggang-langgang, dibakarlah semua itu. Kobaran api merah menyala menggapai langit.
Malam panjang membentang. Dingin yang menusuk tulang dipadu dengan suasana yang hening, harusnya membuat setangkai mimpi tidak patah. Namun mana ada mimpi indah tercipta dari tidur yang gelisah. Ya, gara-gara hantu pengetuk pintu itu menjadikan orang sulit sekali tidur.
Emak mematikan lampu dapur ketika Taslim masuk kamar berangkat tidur. Tidur ada Taslim di rumah begitu, menjadikan Emak tidak seberapa takut. Sebuah perasaan yang tidak beralasan. Karena bukankah ketika Pak Komar membukakan pintu pada pengetuk pintu tengah malam itu juga ia sedang tidak sendiri di rumah. Ada istri, anak dan menantu yang tinggal bersama di rumah besarnya. Toh didatangi juga.
Ketika telah terdengar suara dengkur Taslim di kamar belakang, Emak justru belum bisa terlelap. Ia tidak sedang memikirkan hantu pengetuk pintu. Ia memikirkan Taslim yang belum juga mengabarkan kepadanya tentang seorang perempuan yang akan menjadi istrinyanya. Kalau sudah begitu, Emak ingin menantunya itu tinggal di rumah ini. Taslim biarlah bekerja di kota, yang dua atau tiga bulan kembali. Emak mengernyitkan kening sambil memejamkan mata. Berharap bisa segera tidur, sekaligus berharap mudah-mudahan Taslim berlaku begitu bukan karena pernah patah hati. Kalaulah pernah patah hati, semoga di kota sana, ia menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan luka hatinya.
Kelambu warna hijau di kamar Emak itu dibelikan Taslim tiga bulan yang lalu ketika musim nyamuk. Dengan itu, sekalipun jarang sekali bisa tidur nyenyak, Emak menjadi tidak terganggu nyamuk ketika malam-malam sedang sulit tidur teringat anak-anak dan cucunya.
Suara binatang malam terdengar sebagai bebunyian yang menyepikan. Gerimis terdengar laksana desis panjang yang dikirim dari langit. Emak memandang ke atas kamarnya yang tanpa langit-pangit, membuatnya bisa menghitung kayu usuk, atau genting. Lampu lima watt yang tidak pernah ia matikan, membuat kamarnya remang-remang. Ia terus memandang ke atas. Membayangkan bisa melihat sorga. Tempat di mana suaminya telah menunggunya.
Tentang di kota ia bekerja apa, tiada pernah Taslim bercerita. Yang jelas ia tidak pernah lupa memberi uang belanja kepada Emaknya. Dan Emak tidak pernah sedikitpun berprasangka buruk akan pekerjaan anak lelaki satu-satunya ini. Sebagai yang dikenal tidak pernah macam-macam, tentulah pekerjaannya juga tidak sembarangan.
Emak menutup mulutnya dengan tangganya yang keriput ketika menguap. Hari telah larut malam dan gerimis masih saja kerasan. Kantuk sepertinya mulai mendekati mata Emak. Ketika ia hendak membetulkan letak selimut, telinganya mendengar langkah beberapa orang mendekati rumahnya. Seketika itu juga kantuk meloncat dari mata Emak, pergi jauh. Dada Emak berdegup kencang. Seringkali ia mendengar orang-orang bercerita tentang hantu pengetuk pintu. Tetapi tidak pernah bertanya hantu itu datang sendiri atau secara ramai-ramai.
Tok, tok, tok!
Telinga Emak terasa panas mendengar pintu rumahnya diketuk orang malam-malam. Emak diam, bergerak sedikitpun akan didengar orang. Ada terdengar suara ketukan lagi, tapi beda dari yang tadi. Mungkin si hantu sedang mengetuk kayu kusen pintu. Suara berikutnya malah ketukan di kaca jendela, nyaring sekali. Mungkin si hantu mengetuknya memakai cincin batu akik yang dikenakan di jari tengah tangan kanannya.
“Kalau pada hitungan ketiga tidak juga dibuka, kami akan dobrak pintunya,” suara hantu itu seperti suara manusia.
Emak makin takut tidak karuan. Ia beranjak bangkit dan menuju kamar Taslim. “Lim, bangun. Ada hantu pengetuk pintu…” berbisik ia mengetuk pintu kamar Taslim.
Hantu itu berbohong. Tidak seperti yang ia katakan, tanpa menghitung dulu langsung saja mereka mendobrak pintu. Lima orang berpakainan hantu, atau lima hantu menyamar sebagai orang, merangsek masuk secara tidak sopan. Berseragam hitam menakutkan, dengan topeng hitam yang hanya ada lubang di bagian mata, mereka masing-masing membawa senapan laras panjang.
Emak lunglai bersimpuh di lantai. Seorang hantu memintanya menyingkir dari depan pintu kamar Taslim. Tiga orang, satu di tengah, masing-masing satu di kanan-kiri, menodongkan senjata ke arah pintu kamar Taslim. Dengan gerakan tangan, hantu yang menahan tubuh tua Emak memberi aba-aba, dan sekali dobrak pintu kamar dari trilpek itu berantakan.
Taslim tak berkutik ketika mereka meringkusnya. Emak yang menangis histeris sambil bertanya kenapa anaknya dibegitukan, mendapati kenyataan yang sia-sia. Hantu-hantu itu sama sekali tak menghiraukannya. Sementara ketika ia bertanya kepada Taslim, mulut anaknya itu terlanjur telah dilakban dan matanya ditutup kain hitam. Setelah mengobrak-abrik kamar Taslim, menggeledah lemari sampai kolong tempat tidur, mereka hanya menemukan beberapa potong pipa dan beberapa buku milik anaknya, hantu-hantu itu lalu keluar.
Emak merasakan dunia hancur. Hatinya hancur. Meronta-ronta ia mengikuti anaknya yang diseret para hantu pengetuk pintu menuju mobil yang barusan mendekat. Tetapi Pak RT dan Pak Lurah yang berdiri di dekat pintu menghalangi langkahnya.
Tulang tuanya makin lunglai kala melihat hantu-hantu itu membawa anaknya masuk mobil yang kemudian melaju kesetanan. Hatinya tidak hanya terluka, tetapi lebih dari itu. Rupanya orang-orang berbohong. Katanya hantu pengetuk pintu tidak pernah menampakkan wujudnya. Namun barusan Emak melihat mereka dengan mata kepala sendiri, para hantu pengetuk pintu ternyata kasat mata. Hantu-hantu itu berpakaian hitam, dengan senjata di tangan. *****
Sumber
Lagi Kisah Seram: Ghost Stories Club