Rabu, 08 Januari 2020

Sejarah Pahlawan Perjuangan Indonesia Dokter Sutomo Dan Dokter Wahidin Sudirohusodo.

Sejarah Pahlawan Perjuangan Indonesia Dokter Sutomo Dan Dokter Wahidin Sudirohusodo.
Pahlawan Perjuangan Indonesia Dokter Sutomo
Sekelompok mahasiswa STOVIA (School tof Opleiding van Indische Aartsen, Sekolah Dokter Hindia ) menerima tamu, seorang doter Jawa bernama Wahidin Sudirohusodo yang mengusahakan suatu beasiswa (studiefonds) bagi peajar dan mahasiswa Bumiputera.

Dokter Wahidin menjelaskan usaha-usaha yang telah dilakukannya. Kelompok mahasiswa itu sudah biasa berkumpul dan melakukan diskusi-diskusi membicarakan tentang nasib bangsa pribumi yang terjajah.

Sutomo,  salah seorang mahsiswa yang hadir, berkomentar dalam bahasa Jawa “puniko budi ingkang utami..” (Hal itu merupakan upaya yang mulia). Pertemuan itu tidak berakhir sampai di situ saja tetapi berlanjut pada masa-masa selanjutnya. 
Pendiri Budi Utomo
Para maha siswa itu kemudian mendirikan suatu organisasi yang diberi nama Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan Sutomo dipilih sebagai ketuannya.


Budi Utomo merupakan organisasi pergerakan pertama yang bercorak modernpada saat ini, Corak modern itu ditandai dengan adanya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi yang jelas, tujuan organisasi, pergantian pimpinan,dan dukungan massa yang jelas. Hal itu berbeda dengan organisasi pergerakan sebelumnya yang bersifat kharismatis dan spontan. 
Budi Utomo memiliki tujuan dari rencana kerja yang disusun sebelumnya. Jadi, bukan merupakan gerakan yang spontan dari seorang pemimpin yang kharismatis.

Para pengurus Budi Utama pada mulanya membatasi geraknya pada penduduk Jawa dan Madura dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik.

Bidang kegiatan yang dipilihnya adalah bidang penddikan dan budaya. Hal itu dapat dipahami mengingat Regering Reglement (Peraturan Pemerintah) pasal 11 pada waktu itu yang melarang semua kegiatan Bumiputera yang bercorak politik.
Pengabdiannya Sebagai Dokter
Setelah Dokter Sutomo menamatkan STOVIA mendapat tugas di Semarang yakni pada tahun 1911. Dari ota itu, ia dipindahan ke Tuban, Lubuk Pakam (Sumatera Utara) dan ke Malang.

Di Kota Malang itu, ia harus berjuang melawan penyakit tipes yang melanda daerah itu. Wabah itu mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Sebagai seorang dokter, sesuai dengan sumpahnya, beliau membantu tanpa mengharapkan balas jasa pasiennya dengan tanpa menetapkan tarif pengobatan. Bahkan, ia sering membebaskan mereka dari pembayaran pemeriksaan dan obat-obatan. 

Tugas-tugasnya yang berat sebagai dokter di tengah masyarakat tidak memadamkan hasratnya untuk memperdalam ilmu dan meningkatan profesionalitasnya.

Dan Pada tahun 1919, dokter Sutomo memperoleh kesempatan untuk memperdalam ilmunya ke Eropa dengan belajar di Negeri Belanda, Jerman, dan Austria. Serta Kesibukannya memperdalam ilmu juga tidak memadamkan minatnya akan bidang politik.

Di Negeri Belanda, ia bergabung dengan Indische Vereneging (Perhimpunan Hindia) yang diemudian hari berubah nama  menjadi Perhimpunan Indonesia. Dalam kelompok itu, tergabung mahasiswa Indonesia seperti Muhammad Hatta,Nazir Pamuntjak,Djunaedi, Sukiman, Ichsan,Dahlan Abdullah, dan Subarjo.
Pegerakan Nasional
Sekembalinya ke Indonesia, beliau menganjurkan agar Budi Utomo bergerak dalam bidang politik dan anggotanya terbuka untuk semua warga masyarakat diindonesia. Ia pada tahun 1924 mendirikan Indonesiche Studieclub (Kelompok Belajar Indonesia,ISC) DI Surabaya yang kemudian berkembang menhjadi Persatuan Bangsa Indonesia.

Dokter Sutomo dan uga pemimpin nasionalis lainnya menganggap bahwa azas “Kebangsaan Jawa” dari Budi Utama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rasa kebangsaan waktu itu.

melalui ISC didirikan asrama pelajar, sekolah tenun, bank kredit dan koperasi. Pada tahun 1931, organisasi itu berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI).  Gubernur Jendral de Graef di ganti oleh de Jonge pada tahun 1931 ketika Krisis Malaise massih merajalela. Sikapnya sangat reaksioner dan tidak bersedia berkompromi dengan kaum pergerakan. Pers di berangus dan rapat-rapat partai diawasi oleh polisi rahasia secara ketat. Pemerintah “bertangan besi” ini menyebabkan kelumpuhan pergerakan nasional.

Untuk menyeimbangkan tindakan pemerintah Belanda itu pada bulan Desember 1935 Budi Utomo dan PBI bergabung dengan nama Partai Indonesia Raya (Parindra). Guna memberi semangat masyarakat, ia juga aktif dalam bidang pers dan memimpin bebrapa surat kabar.

Kesibukannya dan tekanan hidup akibat perjuangan nasional menjadikan fisik dan kesehatannya melemah. Ia menutup mata untuk selam-lamanya pada tanggal 30 Mei 1938 di Surabaya dalam usia 50 tahun.

Demikianlah selintas riwayat Dokter Sutomo, seorang dokter pejuang yang berpihak kepada bangsanya (rakyat kecil) adakah para dokter pada masa sekarang ini yang memberikan pengobatan gratis kepada para pasiennya yang tidak mampu seperti sudah dilakukan Dokter Sutomo saat bertugas di Malang sampai awa Timur?
Dokter Wahidin Sudirohusodo
Bangsa Belanda yang menjajah kita memang tidak ingin kaum pribumi maju dan berpikiran cerdas. Di  samping jumlah sekolah yang terbatas juga banyak peraturan yang membatasi penerimaan murid, khususnya untuk memasuki sekolah Eropa bagi orang pribumi.  Biaya sekolah yang sangat tinggi juga menjadi  hambatan bagianak-annak yang memiliki kemampuan dan bakat tinggi.

Kesadaran adanya hambatan dan ketimpangan itu mendorong seorang dokter Jawa yang  bernama Wahidin Sudirohusodo untuk mengambil inisiatif melancarkan suatu aksi mengumpulkan dana yang dapat digunakan sebagai beasiswa (studiefonds).

Wahidin dilahirkandi desa  Melati, Yogyakarta pada tanggal  7 Januari 1852. Sesudah menyelesaikan Europeesche Lagere School (SD untuk orang Belanda), ia melanutkan studinya pada Sekolah Dokter Jawa (Inlandsch Geneeskundinge, ahli Kesehatan Bumiputera) di Jakarta.

Untuk menyebarkan gagasan itu, dia mengimbau para priayi (bangsawan tradisional) dan kaum terpelaar agar mereka mendukung aksi itu. Dengan tujuan melancarkan propaganda bagi ide itu, Dokter Wahidin pada tahun 1906 mengadakan  perjalanan keliling di Jawa untuk menemui para bupati dan orang-orang terkemuka.

Selain terkumpulnya sejumlah uang dan kesanggupan beberapa bangsawan  untuk memberi beasiswa, tidak banyak diketahui hasil konkret lain dari misi yang dijalankan oleh dokter itu. Namun demikian, gagasan itu menjadi pemikiran banyak kalangan khususnya kalangan bangswan dan kalangan kaum terpelajar. Tindakan Wahidin menjadi sarana “pencerahan” yang memberi warna bagi idealisme orang-orang pada masanya.

Salah satu perjalan Wahidin menjadi perjalanan bersejarah ketika ia mengunjungi para “mahasiswa” Sekolah Kedokteran STOVIA di Jakarta. Setelah mendengarkan ide-ide dan berbagai hal yang telah dilakukan Dokter Wahidin, seorang mahasiswa berkomentar dalam bahasa Jawa:” puniko budi ingkang utami” (Itu merupakan usaha yang luhur), Komentar itu terbawa dalam rapat “mahasiswa” di salah satu ruang kelas pada tanggal 20 Mei 1908 yang berlangsung serba sederhana. Para peserta rapat sepakat untuk mendirikan organisasi yang di beri nama Budi Utomo.

Pendirian organisasi itu merupakan salah satu tonggak dalam sejarah pergerakan nasional modern yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Mulai saat itu perjuangan kemerdekaan dilakukan lewat organisasi dengan anggaran dasar, aturan pergantian pimpinan yang jelas, dan sumber dana yang tetap. Hal itu berbeda dengan perjuangan kemerdekaan pada tahun-tahun sebelumnya.

Dokter Wahidin menikah dengan seorang wanita Betawi bernama Anna dan dianugerahi oleh dua orang anak. Salah seorang anaknya Abdullah Subroto, seorang pelukis ternama yang menurunkan dua orang pelukis terkenal dewasa ini yaitu Sujono Abdullah. Dokter Wahidin meninggal di Yogyakarta pada tanggal 26 Mei 1917 dan dimakamkan di desa Melati,Yogyakarta. Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973.